Archive for Desember 2010

  SOBAT, tahukah Anda situasi seperti apakah yang membentuk manusia saat ini? Zaman apakah yang telah membuat banyak orang menjadi semakin emosional dan merasa seperti hidup dalam ketidakpastian? Yang telah membuat manusia; Anda dan kita semua lebih mudah percaya pada orang lain, media, dan lingkungan, ketimbang percaya terhadap diri kita sendiri; zaman di mana manusia begitu mudah kehilangan karakter dan prinsip hidup?


Sebelum saya memberikan gambaran tersebut, saya akan menjelaskan 3 fase peradaban manusia yang secara sederhana dapat disistematisasi dengan alur tradisional-modern-posmodern. Di era tradisional, segala sesuatunya berjalan secara natural, apapun yang dibutuhkan manusia senantiasa dikembalikan pada alam semesta.

Sandaran hidup manusia di era tradisional adalah mitos. Mitos akan dewa-dewa, bintang-bintang, dan segala hal yang dapat membentuk sistem keyakinan manusia tanpa perlu berpikir panjang. Saat itulah kebudayaan dan sistem adat berkembang pesat. Saat itulah bangsa-bangsa eksis dengan mitosnya masing-masing. Saat itulah, sebelum adanya negara, manusia diatur oleh komunitas budaya bernama bangsa.


Fase kedua peradaban manusia adalah era modern yang ditandai dengan pergeseran dari masyarakat alamiah menuju masyarakat ilmiah. Inilah masa di mana manusia mulai meninggalkan mitos. Di sinilah era lahirnya ilmu-ilmu modern yang saat ini Anda pelajari di sekolah maupun universitas. Mitos menjadi ilmu. Mitos hari akhir menjadi eskatologi, mitos bintang-bintang menjadi astronomi, mitos kepribadian menjadi psikologi, mitos budaya menjadi antropologi, mitos sosial menjadi sosiologi, mitos alam semesta menjadi fisika dan metafisika, dan mitos itu sendiri menjadi mitologi, et cetera. Inilah era di mana manusia percaya pada rasio; pada akal-pikiran yang melahirkan ilmu-ilmu tentang segala hal yang dapat dijangkau nalar manusia. Ini pula era di mana lahir institusi negara yang membuat kehidupan semakin teratur sekaligus membongkar mitos hukum rimba dan king can do no wrong. Boleh dibilang, inilah era kejayaan manusia di mana demikian banyak ilmuan bersusah-payah melahirkan penemuan-penemuan baru yang teramat sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia hari ini.

Lalu, bagaimana dengan kehidupan manusia di zaman ini? Yupz, saat ini kita hidup di era posmodern. Sandaran hidup manusia bukan lagi rasio, apalagi mitos. Ini adalah era manusia tanpa sandaran hidup, yaitu manusia serba setengah; setengah rasio, setengah mitos; setengah percaya, setengah skeptis; setengah mati, setengah hidup; setengah tradisional, setengah modern; setengah hati, setengah ambisi; setengah cinta, setengah nafsu; setengah idealis, setengah oportunis; setengah mikir, setengah asal! Era di mana rasio menjadi mitos dan mitos dibungkus rasio. Inilah era kacau balau. Jika dibuat rumus, maka dapat disederhanakan menjadi: Mitos + Rasio = Chaos. Istilah chaos berasal dari Yunani Kuno yang memiliki arti a state lacking order or predictability (situasi yang ditandai dengan hancurnya keteraturan dan kepastian).

Benar, inilah era chaos. Semua ilmu telah tersedia, saatnya tambal sulam sembari dibungkus dengan bumbu mitos yang seolah-oleh nyata. Mitos media, mitos iklan, mitos popularitas, mitos citra diri, mitos gelar akademik, mitos kekayaan, mitos barang baru, mitos status sosial, dan mitos-mitos lainnya yang membuat manusia; Anda dan kita semua lebih suka bersembunyi di balik kesucian palsu. Inilah saat di mana kejujuran adalah hal yang tabu, keaslian menjadi barang langka; di mana manusia bertopeng mengaku tidak bertopeng; daripada mencari hal baru lebih baik mengikuti yang sudah ada; daripada berkreasi lebih baik meniru; daripada bersusah payah, mending cari yang instan. Sobat, inilah era, di mana batas-batas negara, lebih-lebih batas bangsa benar-benar diruntuhkan oleh pasar dan egoisme individu.

Dus, sebagai catatan akhir, saya hanya ingin mengatakan bahwa segala hal yang terjadi di era posmodern ini adalah kehidupan paling menarik, menantang, menakjubkan, sekaligus menegangkan yang pernah ada dalam sejarah manusia. Lantas, bagaimana caranya agar kita dapat survive dan exist di era ketidakpastian yang serba setengah ini. Maaf, saya tidak dapat menulisnya di artikel ini karena tulisan ini akan sangat panjang dan Anda akan sangat lelah membacanya, tapi tentu saja saya akan menulis secara terpisah pada artikel lainnya, so please be patient guys! Di sini saya hanya ingin menyarankan agar Anda rajin membaca dinamika sosial dan mempelajari matriksnya. Selamat menjelajahi hidup di dunia nyata!

Dengan Sepenuh Hati, Bachry Macrae

Manusia Yang Serba Setengah!

Comments : 0
Posted: Senin, 06 Desember 2010
Tag : ,

  Apakah Anda pernah disakiti sedemikian rupa hingga sulit untuk melepaskan dan memaafkan? Apakah balas dendam akan membuat Anda merasa lebih baik? Apakah Anda penganut pola pikir “Dont get mad, get even!” ? Di tengah suasana bangsa yang sedang agak sensitif belakangan ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengungkap berbagai kemanisan & ketidakmanisan dalam hal balas dendam.



Bahasa Jerman memiliki sebuah kosakata menarik dalam bahasa Jerman, ‘schadenfreude‘, artinya rasa puas yang kita rasakan ketika orang lain menerima kemalangan. Secara logika aneh sekali jika kita manusia -sebagai makhluk intelektual yang memiliki norma- bisa mendapatkan kenikmatan pada keadaan seperti itu
.
Manusia seharusnya tidak sesakit, serendah dan sekejam itu, ‘kan?

Teknologi pemindai PET scan menyatakan sebaliknya. Reaksi emosional schadenfreude itu dapat terdeteksi muncul pada area otak kita yang bernama dorsal striatum, yaitu bagian yang bertanggungjawab untuk perasaan nikmat atau puas. Bagian itu teraktivasi (yang berarti konsumsi aliran darah meningkat di sana) salah satunya ketika kita merencanakan sesuatu untuk membalas dendam kepada orang lain.

Hal tersebut ditemukan oleh Ernst Fehr adalah seorang peneliti dari University of Zurich yang telah melakukan penelitian tentang balas dendam selama bertahun-tahun. Ia menyatakan demikian: “A person who has been cheated is left in a bad situation—with bad feelings. The person would feel even worse if the cheater does not get her or his just punishment.

Itu sebabnya kita merasa butuh untuk membalas, yaitu supaya mengalihkan bad feelings itu kepada orang lain. Semakin detil plot pembalasan yang Anda buat, semakin banyak aliran darah yang mengalir ke dorsal striatum, akibatnya semakin besar antisipasi kenikmatan yang Anda rasakan.

Sampai di sini, peribahasa rasanya benar.

Revenge is sweet, alias balas dendam itu manis.

Namun tunggu dulu, karena ternyata penelitian Ernst tidak berhenti sampai di situ saja. Ditemukan bahwa aliran darah pada bagian otak itu bisa berkurang ketika kita diingatkan pada konsekuensi, biaya atau resiko yang terjadi bila rencana balas dendam benar-benar dilaksanakan. Dalam bahasa sehari-hari, kenikmatan balas dendam hanya ada pada tahap perencanaan dan antisipasi.

Jika kemudian benar-benar dilakukan, rasa nikmat itu segera tergantikan dengan banyak sekali perasaan-perasaan negatif. Daniel Gilbert dari Harvard University menegaskan hal tersebut, “actually inflicting revenge on someone who has wronged us leaves us feeling anything but pleasure.

Bahkan sebuah penelitian lainnya yang berjudul The Paradoxical Consequences of Revenge menyatakan bahwa orang yang berharap bisa puas karena balas dendam justru mendapat ketidakpuasan yang berkepanjangan. Anda tahu alasannya?

Karena orang yang sudah membalas dendam cenderung akan terus memikirkan, merenungkan, dan mengenang orang yang menyakitinya; sementara orang yang tidak membalas dendam cenderung melanjutkan hidupnya dan tidak memusingkan orang yang menyakitinya. Berikut adalah kutipan langsung dari isi hasil penelitian tersebut:

People underestimate the extent to which punishment will make them ruminate about the transgressor, and they fail to realize that this is especially true if they instigate the punishment. The reason for this paradoxical finding is that rumination prolongs the negative emotions that punishers are trying to escape in the first place—the act of having punished someone keeps us thinking about them.

Menurut seorang psikolog sosial, Kevin Carlsmith dari Colgate University, tujuan balas dendam adalah demi menyeimbangkan keadaan dan merasakan kepuasan, namun anehnya jika dilakukan malah menciptakan efek berkebalikan. “Rather than providing closure, revenge does the opposite: it keeps the wound open and fresh. So it’s easier to move on. Say no to revenge. It only hurts yourself,” ucap Kevin sebagaimana dikutip oleh Psychology Today.

Sekali lagi, kenikmatan balas dendam tidak pernah bertahan lama dan hanya ada di tahap awal sebelum balas dendam dilakukan. Jika sudah sampai sini, peribahasa revenge is sweet itu kurang tepat; yang lebih tepat dan saintifik adalah planning a revenge is sweet.

Begitu rencana itu menjadi realita, orang yang dibalas akan terpikir untuk kembali membalas. Dengan kata lain, tidak akan pernah tercipta kondisi seimbang 1-1 seperti yang Anda pikirkan, boro-boro manis dan bahagia karena Anda dan musuh Anda terjebak dalam drama balas-membalas.

Awalnya mungkin benar dialah yang menyakiti Anda. Tapi karena Anda sakit hati dan membalas dengan schadenfreude, dia juga jadi terpancing ingin membalas schadenfreude. Tidak terima dengan hal itu, Anda melancarkan schadenfreude lagi, yang tentu akan diresponi dengan schadenfreude dia, dan demikian seterusnya. Sebuah siklus yang mengerikan.

Ketidakmanisan lainnya dari aksi balas dendam dijelaskan secara gamblang dalam buku berjudul None Of These Diseases, khususnya bab The High Cost of Getting Even. Dr. S.I. McMillan menuliskan bahwa jiwa pendendam membuat tubuh kita rentan terhadap serangan penyakit:

When we cannot resist the temptation to get even, we pay the high price of a pound of our own flesh. Toxic goiter, strokes of apoplexy, heart attacks, high blood pressure, ulcers and many other serious ailments afflict millions of people, and often it’s a direct result of the inability to forgive.

Sobat, kita memang tidak selalu bisa menghindari konflik, kejadian yang menyakiti, ataupun orang yang ingin mengambil keuntungan dari kita. Namun kita BISA menghindari aksi balas dendam agar tidak perlu menenteng siklus yang mengerikan ataupun penyakit di sepanjang hidup kita.

Apalagi aksi balas dendam membuat Anda jadi terlihat sama dengannya. Anda jadi sama bersalah dan kekanak-kanakannya dengan orang yang menyakiti Anda. Karena ketika orang menyakiti Anda, dia menang; dan ketika Anda balas dendam, dia menang untuk kedua kalinya.

Kalau saya jadi Anda, saya lebih suka menunjukkan bahwa saya lebih superior daripadanya dengan cara tidak menunjukkan terpengaruh, tidak sakit hati, ataupun tidak ingin membalas dendam.

Menurut saya itu adalah ‘cara balas dendam’ yang paling manis

Balas Dendam Itu Manis?

Comments : 0
Posted: Sabtu, 04 Desember 2010
Tag : ,
>
<

MP3 Player

Mengenai Saya

Foto Saya
My name is Muhammad Bachry , You can call me Bach, Arhy, Rhie or Rirhie I was born on Makassar, Indonesia At March 21st 1996,05.13 AM. I was graduate at Bawakaraeng Elementary School'08 and Zpenten Junior High School'11, Now i'm study at Islamic Senior High School Makassar(M2M Makassar). I Love Allah SWT, My Family, ♥My Princess, music, books, movie, Japanese Language, and English :D I hate a lot of things, and i don't particularly like anything. What i have is not a dream because i will make it reality. Accept the past, Live today, And Smile tomorrow.. Because All things will Bright and Beautiful.. Trust Me! :D- Want to know me more? Contact me directly ;) bachrymaycry@gmail.com bachrymaycry@live.com
Bachry Strife. Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Popular Posts

Blogger Widgets

Total Pageviews

- Copyright © 2013 A Lone Dire Wolf - DJogzs - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -